Disaat proses semua ini aku berada sekitar 400km diluar kota. Aku di Semarang, para mentor di Jakarta.
Tugas awal dari mentor Juru Rupa pun aku kerjakan di Semarang:
Ketika masa pengolahan konsep, aku bingung sama sekali. Kalau aku ada di Jakarta, aku bisa mengintip ide teman-teman lain atau saling curhat dan diskusi mengenainya. Tapi aku tidak di Jakarta, jadi komunikasi lebih sulit.
Untungnya, Kak Vanda sempat mengantar anaknya ke Semarang dan aku menggunakan waktu itu untuk konsultasi secara langsung mengenai konsep dan teknisnya.
Konsepku bergilir dari latar masa penjajahan, ke gubuk milik keluarga kecil. Di masa penjajahan aku ingin menunjukan chaosnya dengan rempah-rempah terinjak di daratan pasir, tapi aku sadar aku kurang pandai dengan sejarah. Gubuk milik sang keluarga kecil aku bayangkan disekitari kebun berisi rempah-rempah. Ada juga ide lain untuk membuat top-view wajan besar yang sedang memasak rempah dan hanya rempah.
Akhirnya, aku melakukan suatu hal yang selalu aku lakukan kalau aku pusing. Aku tidur. Dari mimpiku aku memutuskan untuk menggunakan prompt kecil untuk membantuku, “Where is this? Who am I.” yang sejujurnya sangatlah tipikal di film drama.
Emosi yang ingin kusampaikan adalah kebingungan dan disbelieve akan suatu hal yang indah dan megah.
Awalnya aku ingin full on watercolor. Tapi dengan konsep yang aku sketsa secara digital, aku merasa keterampilanku belum cukup. Dan tadinya aku ingin merubah media menjadi digital, tapi aku ingin sekali menggunakan watercolor saja. Jadi aku meng-akalkan untuk menempel dan memberi lapisan dengan kertas watercolor yang dipotong-potong.
Setelah beragam komunikasi online dan kunjungan langsung ke jakarta, akhirnya aku dapat mempersembahkan karya ini.
I’m a tad more comfortable saying this in English so. To start it off I just wanna say I’m really really really grateful for everyone. To the mentors, my fellow perupas, my family, friends, and the overwhelming support we got during d-day. Everything was a success, as if the stars have aligned perfectly the night before. So thank you, universe, for bringing us all together for this.
Something I say to myself a lot in this journey is, “f*** it,” which is another way to say, “whatever happens, happens”. I don’t like taking risks, and that shows on my drawings. They often lean towards the pastel, unsaturated sort of side. It’s because I use light colors, in fear that I won’t be able fix a mistake if it’s to dense. However, for this art piece the color needs to be bold. And using the motivation from the mentors, my parents, and the cruelty of time, I conquered my fear.
Once again, thank you, to one of the biggest thing I did this year. Hopefully, this won’t be our last. We’ll see you another time, thank you 💖
Tata, demikianlah nama panggilannya.
Terlahir 15 tahun yang lalu di Jakarta, Tata menjadi anak ke-2 dari 3 bersaudara.
Tata memiliki rentang minat yang luas di dunia visual. Dia senang menggambar menggunakan pensil, cat air maupun secara digital. Dia senang juga membuat doodle dan video speed drawing di Youtube. Dia juga pernah membuat produk kartu belajar yang diberi nama “CritaCrita”.
Dalam pameran “Spice Space” bersama para sahabat homeschooling yang tergabung dalam unit Juru Rupa Klub Oase, Tata mengeksplorasi gagasan tentang rempah dan mencoba menggunakan media cat air sebagai media ekspresinya.
Silakan meninggalkan pesan untuk perupa agar lebih semangat berkarya.
3 Replies to “Tata”
Waaa Tata, bagus sekali karyanya. Paduan warnya aku suka!
Congrats Tata, Adinda, Andini, Khansa, Kaysan, Kayyisha, Naufal, Trisha, Syahba… karya-karyanya luar biasa kreatif
🥰🥰🥰
Keren nih ide kolase kertasnya..
Selamat ya Tata
Comments are closed.